Senin, 07 November 2022

Amal yang Memasukkan ke Surga

 Hadits 29: Amal yang Memasukkan ke Surga

Matan Hadits:

عَن مُعَاذ بن جَبَلٍ رضي الله عنه قَالَ: قُلتُ يَا رَسُولَ الله أَخبِرنِي بِعَمَلٍ  يُدخِلُني الجَنَّةَ وَيُبَاعدني منٍ النار قَالَ: (لَقَدْ سَأَلْتَ عَنْ عَظِيْمٍ وَإِنَّهُ لَيَسِيْرٌ عَلَى مَنْ يَسَّرَهُ اللهُ تَعَالَى عَلَيْهِ: تَعْبُدُ اللهَ لاَتُشْرِكُ بِهِ شَيْئَا، وَتُقِيْمُ الصَّلاة، وَتُؤتِي الزَّكَاة، وَتَصُومُ رَمَضَانَ، وَتَحُجُّ البَيْتَ. ثُمَّ قَالَ: أَلاَ أَدُلُّكَ عَلَى أَبْوَابِ الخَيْرِ: الصَّوْمُ جُنَّةٌ، وَالصَّدَقَةُ تُطْفِئُ الخَطِيْئَةَ كَمَا يُطْفِئُ المَاءُ النَّارَ، وَصَلاةُ الرَّجُلِ فِي جَوْفِ اللَّيْلِ ثُمَّ تَلا : (تَتَجَافَى جُنُوبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِعِ) حَتَّى بَلَغَ: (يَعْملَونْ) [السجدة:16-17] ثُمَّ قَالَ: أَلا أُخْبِرُكَ بِرَأْسِ الأَمْرِ وَعَمُودِهِ وَذِرْوَةِ سَنَامِهِ ؟ قُلْتُ: بَلَى يَارَسُولَ اللهِ، قَالَ: رَأْسُ الأَمْرِ الإِسْلامُ وَعَمُودُهُ الصَّلاةُ وَذروَةُ سَنَامِهِ الجِهَادُ ثُمَّ قَالَ: أَلا أُخبِرُكَ بِملاكِ ذَلِكَ كُلِّهِ ؟ قُلْتُ:بَلَى يَارَسُولَ اللهِ. فَأَخَذَ بِلِسَانِهِ وَقَالَ: كُفَّ عَلَيْكَ هَذَا. قُلْتُ يَانَبِيَّ اللهِ وَإِنَّا لَمُؤَاخَذُونَ بِمَا نَتَكَلَّمُ بِهِ ؟ فَقَالَ: ثَكِلَتْكَ أُمُّكَ يَامُعَاذُ. وَهَلْ يَكُبُّ النَّاسَ فِي النَّارِ عَلَى وُجُوهِهِمْ أَو قَالَ: عَلَى مَنَاخِرِهِمْ إِلاَّ حَصَائِدُ أَلسِنَتِهِمْ) رواه الترمذي وقال: حديث حسن صحيح.

Dari Mu’adz bin Jabal Radhiallahu ‘Anhu dia berkata : Saya berkata: “Wahai Rasulullah, beritahukan saya tentang perbuatan yang dapat memasukkan saya ke dalam surga dan menjauhkan saya dari neraka.” Beliau bersabda: “Engkau telah bertanya tentang sesuatu yang besar, dan perkara tersebut mudah bagi mereka yang dimudahkan Allah Ta’ala: Hendaknya beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukanNya dengan sesuatu apa pun,  menegakkan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan dan pergi haji. Kemudian beliau (Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam) bersabda: “Maukah engkau saya beritahukan tentang pintu-pintu kebaikan?” yaitu Puasa adalah benteng, sedekah akan mematikan (menghapus) kesalahan sebagaimana air mematikan api, dan shalatnya seseorang di tengah malam (qiyamullail), kemudian beliau membacakan ayat : “Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya….” Sampai .. “Ya’malun –yang mereka lakukan.” (QS. As Sajadah : 16-17). Kemudian beliau bersabda: “Maukah engkau saya beritahukan pokok dari segala perkara, tiang-tiangnya dan puncaknya ?, Saya menjawab: “Mau wahai Rasulullah.” Beliau bersabda: “Pokok perkara adalah Islam, tiangnya adalah shalat dan puncaknya adalah Jihad.” Kemudian beliau bersabda: “Maukah  engkau saya beritahukan  bagaimana cara dapat memiliki semua itu?” Saya berkata : “Mau ya Rasulullah.” Maka Rasulullah memegang lisannya lalu bersabda: “Jagalah ini.” Saya berkata: “Ya Nabi Allah, apakah kita akan dihukum juga atas apa yang kita bicarakan ?” Beliau bersabda: “Wah kamu ini Mu’adz, adakah yang menyebabkan seseorang terjungkel wajahnya di neraka –atau beliau bersabda: diatas hidungnya- selain karena buah dari yang diucapkan oleh lisan-lisan mereka. (HR.  At Tirmidzi dan dia berkata: Hadits hasan shahih)

Takhrij Hadits:

  • Imam At Tirmidzi dalam Sunannya No. 2616
  • Imam Ibnu Majah dalam Sunannya No. 3973
  • Imam An Nasa’i dalam As Sunan Al Kubra 11394
  • Imam Ahmad dalam Musnadnya No. 22016
  • Imam Al Hakim dalam Al Mustadrak 3548
  • Imam Ath Thabarani dalam Al Mu’jam Al Kabir 116, 137, 200, 266, 291, 292, 304, dan Al Awsath No. 7503
  • Imam Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman 2806, 3958
  • Imam Al Bazzar dalam Musnadnya No. 2643
  • Imam Al Baghawi dalam Syarhus Sunnah 1

              

Kamis, 20 Oktober 2022

BAB Shalat: Sepuluh Rakaat Rawatib dalam Sehari dan Shalat Bakdiyah Jumat

 Bulughul Maram – Shalat: Sepuluh Rakaat Rawatib dalam Sehari dan Shalat Bakdiyah Jumat

Rumaysho.Com / Muhammad Abduh Tuasikal, MSc / 13 jam yang lalu

Berikut adalah keterangan dalam hadits yang membicarakan shalat rawatib dalam sehari sebanyak sepuluh rakaat.  

Bulughul Maram karya Ibnu Hajar Al-‘Asqalani

Kitab Shalat

بَابُ صَلاَةُ التَّطَّوُّع

Bab Shalat Tathawwu’ (Shalat Sunnah)

 

Shalat Sunnah Rawatib yang Mengikuti Shalat Wajib

Hadits 2/351

عَنِ ابنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: حَفِظْتُ مِنَ النَّبيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَشْرَ رَكَعَاتٍ: رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الظُّهْرِ، وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَهَا، وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ المَغْرِبِ فِي بَيْتِهِ، وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْعِشَاءِ فِي بَيْتِهِ، وَرَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الصُّبْحِ، مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.

وَفِي رِوَايةٍ لَهُمَا: وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْجُمعَةِ فِي بَيْتِهِ.

Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Aku menghafal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sepuluh rakaat, yaitu: dua rakaat qabliyah Zhuhur, dua rakaat bakdiyah Zhuhur, dua rakaat bakdiyah Maghrib di rumahnya, dua rakaat bakda Isyak di rumahnya, dan dua rakaat qabliyah Shubuh.” (Muttafaqun ‘alaih) [HR. Bukhari, no. 1180 dan Muslim, no. 729]

Dalam riwayat Bukhari dan Muslim, “Dua rakaat bakda Jumat di rumahnya.” [HR. Bukhari, no. 937 dan Muslim, no. 729]  

Hadits 3/352

وَلِمُسْلِمٍ: كَانَ إذَا طَلَعَ الْفَجْرُ لاَ يُصَلِّي إلاَّ رَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْن.

Menurut riwayat Muslim disebutkan, “Apabila telah terbit fajar, beliau tidak shalat kecuali dua rakaat yang ringan.” [HR. Muslim, no. 723, 88, dari jalur Zaid bin Muhammad, ia berkata bahwa ia mendengar Nafi’ berkata dari Ibnu ‘Umar, dari Hafshah].  

Hadits 4/353

وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا: أَنَّ النَّبيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ لاَ يَدَعُ أَرْبَعاً قَبْلَ الظُّهْرِ، وَرَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْغَدَاةِ. رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ.

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak meninggalkan shalat sunnah empat rakaat qabliyah Zhuhur dan dua rakaat qabliyah Shubuh. (HR. Bukhari) [HR. Bukhari, no. 1182]  

Faedah hadits

  1. Hadits ini jadi dalil mengenai anjuran melaksanakan shalat rawatib yang disebutkan dalam hadits di atas: (a) dua rakaat qabliyah Zhuhur, (b) dua rakaat bakdiyah Zhuhur, (c) dua rakaat bakdiyah Jumat, (d) dua rakaat bakdiyah Maghrib, (e) dua rakaat bakdiyah Isyak, (f) dua rakaat ringan qabliyah Shubuh.
  2. Menurut hitungan Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, shalat rawatib itu ada sepuluh rakaat. Dua rakaat rawatib Jumat menggantikan shalat sunnah rawatib Zhuhur, di mana shalat rawatib Jumat tidak diulangi tiap hari.
  3. Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma menghafalkan shalat sunnah rawatib dari yang ia saksikan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di masjid atau di rumah saudara Ibnu ‘Umar yaitu Hafshah binti ‘Umar yang menjadi istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, atau beliau saksikan juga di tempat lainnya. Yang jelas, Ibnu ‘Umar itu bukan tinggal di rumah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tetapi di rumah bapaknya, yaitu ‘Umar.
  4. Hadits Ummu Habibah menunjukkan bahwa shalat sunnah rawatib itu ada dua belas rakaat dalam sehari. Faedahnya akan dibangunkan rumah di surga.
  5. Ibnu ‘Umar mengatakan bahwa shalat rawatib itu ada sepuluh rakaat dalam sehari, sedangkan hadits Ummu Habibah dan ‘Aisyah menyatakan ada dua belas rakaat. Kesimpulannya adalah kadang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan rawatib dalam sehari sebanyak sepuluh rakaat, kadang beliau melakukannya dua belas rakaat.
  6. Hadits ini menunjukkan bahwa rawatib Jumat, Maghrib, dan Isyak dilakukan di rumah, itu lebih utama (afdal). Demikian pula, shalat sunnah qabliyah Shubuh dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di rumahnya dan sudah masyhur seperti itu. Shalat sunnah rawatib Zhuhur juga di hadits lainnya menunjukkan kalau Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukannya di rumah.
  7. Shalat sunnah di rumah itu memiliki keutamaan yang besar yaitu: (a) menyempurnakan khusyuk, ikhlas, dan jauh dari riya’; (b) kebaikan yang banyak muncul di rumah yaitu datang rahmat, jauh dari setan, pahala semakin banyak, dan ada pula suri tauladan dalam hal shalat yang diberikan di rumah; (c) agar rumah tidak menjadi seperti kuburan; (d) mengikuti perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang melakukan shalat sunnah di rumah.
  8. Syaikh Muhammad Az-Zuhaily berkata bahwa shalat sunnah malam afdalnya dilakukan di rumah daripada di masjid. Hal ini berbeda dengan shalat sunnah di siang hari, ada ikhtilaf di dalamnya.
  9. Shalat ini disebut dengan shalat sunnah rawatib yang mengikuti shalat wajib. Hikmahnya adalah untuk menutupi kekurangan pada shalat wajib (seperti kekurangan dalam hal khusyuk, kurang dalam tadabbur).
  10. Shalat sunnah rawatib yang sepuluh rakaat (dalam hadits Ibnu ‘Umar) disebut shalat rawatib muakkad.
  11. Yang paling utama dari shalat rawatib adalah shalat sunnah Fajar (qabliyah Shubuh).
  12. Mengerjakan shalat sunnah selain qabliyah Shubuh di waktu Shubuh tidaklah makruh. Demikian pendapat dalam madzhab Syafii karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melarang.
  13. Disunnahkan mengerjakan shalat sunnah rawatib Zhuhur qabliyah maupun bakdiyah masing-masing sebanyak empat rakaat dengan pengerjaan setiap dua rakaat salam.

Baca juga: Penjelasan Shalat Rawatib Muakkad dan Ghairu Muakkad  

Manfaat Lain Shalat Sunnah di Rumah: Bumi Jadi Saksi pada Hari Kiamat

Mengerjakan shalat sunnah di rumah adalah supaya mendapat banyak saksi pada hari kiamat. Sebagaimana keutamaan ini disebutkan oleh Prof. Dr. Musthofa Al-Bugha dalam Al-Fiqh Al-Manhaji (1:159) ketika menjelaskan amalan sunnah sesudah shalat.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat,

يَوْمَئِذٍ تُحَدِّثُ أَخْبَارَهَا

Pada hari itu bumi menceritakan beritanya.” (QS. Al-Zalzalah : 4).

Rasul lalu bertanya, “Apakah kalian tahu apa yang diceritakan oleh bumi?”

Para sahabat menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ أَخْبَارَهَا أَنْ تَشْهَدَ عَلَى كُلِّ عَبْدٍ أَوْ أَمَةٍ بِمَا عَمِلَ عَلَى ظَهْرِهَا أَنْ تَقُولَ عَمِلَ كَذَا وَكَذَا يَوْمَ كَذَا وَكَذَا قَالَ فَهَذِهِ أَخْبَارُهَا

“Sesungguhnya yang diberitakan oleh bumi adalah bumi jadi saksi terhadap semua perbuatan manusia, baik laki-laki maupun perempuan yang telah mereka perbuat di muka bumi. Bumi itu akan berkata, “Manusia telah berbuat begini dan begitu, pada hari ini dan hari itu.” Inilah yang diberitakan oleh bumi.” (HR. Tirmidzi, no. 2429. Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan gharib. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini dha’if. Namun, hadits ini punya penguat dalam Al-Kabir karya Ath-Thabrani 4596, sehingga hadits ini dapat dikatakan hasan sebagaimana kesimpulan dari Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilaliy dalam Bahjah An-Nazhirin, 1:439).

Baca juga: Manfaat Shalat Sunnah di Rumah  

Referensi:

  • Minhah Al-‘Allam fi Syarh Bulugh Al-Maram. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Syaikh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. Jilid Ketiga. 3:268-271.
  • Fiqh Bulugh Al-Maram li Bayaan Al-Ahkaam Asy-Syar’iyyah. Cetakan pertama, Tahun 1443 H. Syaikh Prof. Dr. Muhammad Musthafa Az-Zuhaily. Penerbit Maktabah Daar Al-Bayan. 1:576-581.


Selasa, 21 Juni 2022

Selasa, 10 Mei 2022

Fatwa Ulama: Puasa Syawal ketika Masih Memiliki Hutang Puasa Ramadan


Fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaim

Pertanyaan:

Bagaimana pendapat Anda tentang orang yang menunaikan puasa enam hari di bulan Syawal, padahal dia masih memiliki kewajiban qadha’ (membayar hutang puasa Ramadan)?

Jawaban:

Jawaban atas pertanyaan tersebut adalah dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

“Barangsiapa berpuasa Ramadan, kemudian dilanjutkan dengan puasa enam hari di bulan Syawal, maka dia seolah-olah berpuasa selama setahun.” (HR. Muslim no. 1164)

Jika seseorang masih memiliki kewajiban qadha’ puasa Ramadan, kemudian dia berpuasa enam hari di bulan Syawal, apakah dia berpuasa Syawal sebelum atau sesudah puasa Ramadan?

Misalnya, seseorang berpuasa bulan Ramadan selama dua puluh empat hari, dan dia masih memiliki hutang enam hari. Jika dia berpuasa enam hari di bulan Syawal sebelum membayar hutang puasa Ramadan, maka tidak bisa dikatakan, “Sesungguhnya dia telah berpuasa di bulan Ramadan, kemudian melanjutkannya dengan berpuasa enam hari di bulan Syawal.” Karena tidaklah dikatakan “berpuasa di bulan Ramadan” kecuali bagi orang yang telah menyempurnakannya (berpuasa sebulan penuh dan tidak memiliki hutang puasa, pent.). Oleh karena itu, berdasarkan penjelasan ini, maka bagi orang yang berpuasa Syawal sedangkan dia masih memiliki hutang puasa Ramadan, orang tersebut tidaklah mendapatkan pahala sebagaimana yang disebutkan dalam hadits di atas.

Masalah ini bukanlah termasuk dalam perselisihan pendapat (ikhtilaf) di antara para ulama tentang apakah diperbolehkan seseorang berpuasa sunah sedangkan dia masih memiliki kewajiban qadha’ Ramadan? Karena perselisihan pendapat ini berkaitan dengan selain puasa sunah Syawal. Adapun puasa enam hari di bulan Syawal, puasa ini mengikuti puasa Ramadan. Dan tidak mungkin mendapatkan keutamaan pahalanya kecuali bagi mereka yang telah menyempurnakan puasa Ramadan.

Penerjemah: M. Saifudin Hakim

Hukum Menggabungkan Puasa Qada Ramadan dengan Puasa Syawal

Hukum Menggabungkan Puasa Qada Ramadan dengan Puasa Syawal

Menggabungkan puasa qada Ramadan dengan puasa 6 hari Syawal disebut dengan “tadakhulul ibadaat” atau “tasyrikun fiin niyah“. Yaitu, satu amalan ibadah yang diniatkan untuk melakukan dua ibadah atau lebih sekaligus.

Apakah bisa menggabungkan niat puasa qada Ramadan dengan puasa Syawal? Pendapat terkuat yang kami pegang adalah TIDAK bisa digabung karena dua alasan:

Pertama: Puasa Syawal adalah “mutabi’ah” (mengiringi) puasa Ramadan.

Kedua: Puasa Syawal adalah ibadah “maqshudah binafsiha“‘ yaitu ibadah yang menjadi tujuan yang berdiri sendiri.

Ada pendapat lain juga, yaitu bisa digabungkan. Hal ini karena jika seseorang melakukan puasa qada 6 hari selama bulan Syawal berarti secara zahir dia sudah termasuk puasa 6 hari di bulan Syawal. Akan tetapi, tidak mendapatkan keutamaan puasa setahun penuh karena zahir hadis juga menunjukkan bahwa pahala setahun penuh apabila telah tuntas puasa Ramadan, lalu diikuti puasa Syawal. Jadi, yang terpenting tetap saja motivasinya harus qada atau menuntaskan puasa Ramadan dahulu baru puasa Syawal.

Berikut pembahasan poin di atas:

Pertama: Puasa Syawal adalah “mutabi’ah” (mengiringi) puasa Ramadan

Contoh ibadah mutabi’ah adalah salat sunah rawatib, yaitu salat qabliyah (sebelum salat wajib) dan ba’diyah (setelah salat wajib). Apakah bisa digabung niat ibadah salat rawatib sekalius salat wajib? Tentu tidak bisa. Oleh karena itu, pada ulama membuat kaidah fikih yang berbunyi,

إذا كانت العبادة تبعاً لعبادة أخرى فإنه لا تداخل بينهما

“Apabila ibadah tersebut ‘mengiringi’ (mutabi’ah) dengan ibadah lainnya, maka tidak bisa ‘tadaakhul’ (digabungkan niat) di antara keduanya”

Kedua: Puasa Syawal adalah ibadah “maqshudah binafsiha” yaitu ibadah yang menjadi tujuan yang berdiri sendiri

Para ulama membagi dua jenis ibadah yaitu ibadah “maqashudah binafsiha” dan ibadah “laisat maqshudah binafsiha“. Ibadah “maqshudah binafsiha” adalah ibadah yang menjadi tujuan dan berdiri sendiri seperti ibadah salat wajib, puasa wajib, zakat, dan lain-lainnya. Adapun ibadah “laisat maqshudah binafsiha” adalah ibadah yang bukan menjadi tujuan utama. Artinya, ibadah tersebut yang penting dilakukan sesuai dengan alasan yang menjadi ibadah tersebut diperintahkan, meskipun ibadah itu dilakukan dengan ibadah lainnya

Baca Juga: Fatwa Ulama: Puasa Syawal ketika Masih Memiliki Hutang Puasa Ramadan

Contohnya adalah salat tahiyatul masjid. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

فإذا دخل أحدكم المسجد فلا يجلس حتى يركع ركعتين

“Jika seseorang di antara kalian masuk masjid, maka janganlah dia duduk

sampai dia mengerjakan salat dua rakaat.” (HR. Muslim)

Jika seseorang masuk masjid, yang penting adalah dia salat dua rakaat sebelum duduk dengan jenis ibadah salat apa pun. Misalnya, salat qabliyah dua rakaat atau salat sunah wudu dua rakaat. Jadi dalam hal ini, niat ibadahnya bisa digabungkan dalam satu salat (dua rakaat) antara salat tahiyatul masjid dengan salat qabliyah atau salat sunah wudu.

Adapun ibadah yang kedua-duanya adalah “maqshudah binafsiha“, maka tidak dimungkinkan penggabungan niat ibadah. Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan kaidahnya,

إذا كانت العبادة مقصودة بنفسها ، أو متابعة لغيرها ، فهذا لا يمكن أن تتداخل العبادات فيه

Apabila ibadah tersebut adalah maqshudah binafsiha atau mutabi’ah (mengiringi) ibadah lainnya, maka tidak mungkin dilakukan tadakhul ibadah.” (Liqa’ al-Bab Al-Maftuh, 15: 51)

Apabila puasa qada Ramadan digabungkan dengan puasa sunah Syawal, maka tidak mendapatkan keutamaan puasa setahun penuh. Syekh Abdul Aziz Bin Baz rahimahullah menjelaskan,

وأما أن تصوم الست بنية القضاء والست فلا يظهر لنا أنه يحصل لها بذلك أجر الست، فالست تحتاج إلى نية خاصة في أيام مخصوصة. نعم

“Apabila Engkau puada enam hari Syawal dengan sekaligus niat puasa qada, maka tidak mendapatkan pahala puasa setahun. Puasa enam hari Syawal membutuhkan niat khusus (niat sendiri) pada hari-hari yang khusus.

Apabila menghendaki qada Ramadan sekaligus ibadah yang lain (tadakhul), bisa dilakukan ketika puasa puasa Senin-Kamis, puasa Ayyamul Bidh (puasa pada tanggal 13,14, dan 15 setiap bulan Hijriyah), atau puasa 3 hari setiap bulan (pada hari apa saja setiap bulan hijriyah). Demikian semoga bermanfaat

@Lombok, pulau seribu masjid

Penulis: Raehanul Bahraen

Rabu, 09 Februari 2022

BUKAN GHIBAH

 




Masih ada orang yang tidak bisa membedakan antara Ghibah (membicarakan aib seorang Muslim), dengan Syahadah (kesaksian), dan Iqomatul Hujjah (menegakkan hukum agama).

1. Jika Ada Penipu

Telah sekian banyak orang menjadi korbannya. Lalu, kita buat poster yang berisi identitas dan fotonya. Kemudian kita sebar.

Selanjutnya kita siarkan, agar masyarakat berhati-hati dan terlindungi dari kejahatan (penipuan) orang tersebut, maka itu ‘Kesaksian’, bukan ‘Ghibah’.

Itu bentuk Nahi Mungkar yang sangat tinggi nilainya.

2. Jika Ada Seorang Saksi Mata Bersuara Lantang di Pengadilan

Ia sampaikan apa saja yang ia lihat. Ia bongkar identitas semua pelaku kejahatan, maka itu bukan ‘Ghibah’, tapi ‘Syahadah’ alias ‘Kesaksian’.

Agar hukum ditegakkan atas para penjahat. Beresiko. Namun, ia harus lakukan.

Jika ia menolak bersaksi, ia berdosa, karena dianggap menutupi kejahatan.

Jika ia bicara tidak sesuai fakta, itu pun dosa, karena ia telah memberikan Kesaksian Palsu.

3. Ada Pejabat, Dipilih dengan Uang Rakyat

Biaya pemilihannya habis banyak. Setelah terpilih, makan-minum dan fasilitas hidupnya, semua ditanggung oleh rakyat, tapi kerjanya hanya menyusahkan rakyat.

Kritik dari rakyat itu bukan ‘Ghibah’, tapi ‘Kesaksian’.

Bahkan, kritik kepada pejabat yang lalim seperti ini, dalam pandangan agama adalah bagian dari pada Amar Makruf Nahi Mungkar.


4. Kisah

Suatu hari, Hindun datang kepada Rasulullah, untuk mengadukan Abu Sufyan, suaminya.

“Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan itu, suami yang pelit bin bakhil. Ia tidak memberikan nafkah kepadaku, bolehkah aku ‘mencuri’ uangnya untuk kebutuhanku dan anakku?”

Dalam kasus ini, Hindun membongkar aib suaminya di depan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, tidak menegurnya karena telah membicarakan aib suaminya.

Bahkan beliau, memperbolehkan Hindun, mengambil uang suaminya tanpa sepengetahuan sang suami, untuk keperluannya dan anak-anak.

Apa yang dilakukan Hindun ini, bukan ‘Ghibah’, tapi ‘Syahadah’ alias ‘Kesaksian’.

Ia harus membuka aib suaminya, agar ia mendapatkan keadilan.

5. Contoh

Ada seorang pemikir Liberal. Aktif menyebarluaskan pemikiran sesatnya di tengah masyarakat. Lewat ceramah-ceramah dan tulisan-tulisannya.

Hingga perlahan-lahan, bertambahlah pengikutnya, dan makin kuat posisinya. Mereka merasuk ke semua lini.

Lalu, kita bongkar identitasnya dan kita kritik pemikirannya.

Itu bukan ‘Ghibah’, tapi ‘Iqomatul Hujjah’ (menegakkan hukum agama).

6. Contoh II

Kalau kita belajar ilmu mushtolahul hadist, kita akan temui bab Al jarh wa at ta’dil.

Saking pentingnya, bab ini bahkan oleh sebagian ulama, ditulis dalam kitab tersendiri.

Apa isinya? Membicarakan aib orang; si Fulan ini tukang bohong. Si Fulan ini lemah ingatannya. Si Fulan ini tukang memalsukan hadist, dan seterusnya.

Tapi Imam Ahmad menyebut ‘Ghibah’ dalam konteks ini adalah bagian dari ibadah.

Sebab, agama menjadi terjaga. Warisan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, tetap dalam keasliannya.

Terbongkar juga upaya musuh-musuh agama, untuk merusak tatanan agama ini.

“Demikianlah kami jadikan kalian umat yang wasath, agar kalian menjadi saksi-saksi atas perbuatan manusia,” (QS. Al-Baqarah: 143).

“Kalian adalah umat terbaik yang dikeluarkan untuk manusia. Kalian aktif mengajak kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar serta kalian beriman kepada Allah,” (QS. Ali Imran: 110).

“Kalian adalah saksi-saksi Allah di atas muka bumi ini,” kata Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dalam sebuah hadits shahih.

7. Bijak yang Salah

Maka jangan bersikap sok bijak, dengan berkata: “Afwan ukthi, jangan ‘Ghibahi’ si Fulan, karena bla… bla… dan bla….”

Terhadap Muslim yang shalih dan baik, pasti kita bersikap lemah lembut dan bijak.

Tidak mungkin Kita bongkar aib pribadinya. Tidak boleh Kita umbar kekurangannya.

Tapi kepada kaum sekuler, kapitalis, liberal, yang radikal, tidak perlu lagi bersikap lemah lembut.

Kita harus lawan pemikirannya, sekeras-kerasnya.

Itulah perjuangan, karena kebenaran (bela Allah, bela Rasulullah, bela Agama dan tegakkan keadilan) memang harus diperjuangkan, tanpa mengenal waktu dan tempat.

Di manapun kita berada, kita harus aktif mengajak kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, serta kita beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Surat At-Tahrim Ayat 9:

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ جَاهِدِ الْكُفَّارَ وَالْمُنَافِقِينَ وَاغْلُظْ عَلَيْهِمْ ۚ وَمَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ ۖ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ

Yā ayyuhan-nabiyyu jāhidil-kuffāra wal-munāfiqīna wagluẓ ‘alaihim, wa ma`wāhum jahannam, wa bi`sal-maṣīr

Artinya: “Hai Nabi, perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka adalah jahannam dan itu adalah seburuk-buruknya tempat kembali.”

Wallahu a’lam.

Selasa, 04 Januari 2022

TIDAK ADA SUAMI YG JUJUR



 TIDAK ADA SUAMI YG JUJUR 🥺🥺🥺

Taukah dirimu kalau suamimu mungkin sering dicaci maki bosnya.?😔😔

Taukah dirimu kalau suamimu mungkin sering mendapat hinaan di luar sana.?😫😫

Taukah dirimu mungkin suamimu bahkan baru saja mempertaruhkan nyawanya demi dirimu dan anak" mu.😇😇

Taukah dirimu kalau suamimu mungkin sering menahan lapar demi bisa pulang membawa uang.🥲🥲


Sebelum engkau cemberut padanya,,,

Hitung lah dulu telah berapa juta tetes keringat engkau peras dari tubuhnya.🥺🥺

Sebelum engkau marah padanya,,,

Tataplah lekat-lekat matanya, mungkin tanpa kamu sadari mata itu telah banyak mengeluarkan air mata demi melihat dirimu tersenyum 😊 😞 


Ketahuilah

Bila sampai hari ini dia belum bisa memenuhi segala keinginanmu, itu hanya karena faktor keadaan.

Tak seorang pun kepala keluarga yg tidak ingin melihat keluarganya bahagia.

Sebelum engkau marah kepadanya, lihatlah dan renungkan lah apa yg telah dilakukan oleh seorang suami.

Betapa suamimu sudah kerja keras banting tulang demi memenuhi kebutuhan keluarganya.

Sebagian ayah tak pandai menceritakan kepedihannya pada anak istrinya, ia telan sendiri. 

Ia tak mau anak istrinya tahu betapa susahnya ia berjuang.. Ia hanya ingin anak istrinya bangga terhadap dirinya, terhadap pekerjaannya..


Untuk para ayah di mana pun berada. 

Smoga lelahmu menjadi berkah,


 Amiin ya Allah..🤲


Sayang istri