Senin, 08 Januari 2018

BAB SHOLAT : SYARAT MENJADI IMAM



IMAM  RAWATIB



Secara etimologis (لغة) kata rawatib (رواتب) berasal dari bahasa Arab yang merupakan bentuk jamak dari kata ratibah (راتبة) yang bermakna tetap atau abadi.



Imam Rawatib adalah imam tetap yang memimpin shalat berjamaah di suatu masjid. Seberapa pentingkah kehadiran imam rawatib dalam suatu masjid? Uraian berikut ini akan berusaha menjawab pertanyaan tersebut. Ada banyak alasan yang bisa dikemukakan untuk menjelaskan pentingnya Imam rawatib. Pada kesempatan kali ini, kami membatasinya pada beberapa hal yang dirasa paling utama. Diantaranya:



1.      Mengkuti tuntunan/petunjuk dan sunnah Rasulullah SAW.



Rasullulah adalah Imam Rawatib Masjid Nabi. Beliau selalu memimpin sholat lima waktu kecuali ketika beliau sakit sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari/Muslim,

“Ketika Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam sakit menjelang wafat, Bilal datang meminta idzin untuk memulai shalat. Rasulullah bersabda: ‘Perintahkan Abu Bakar untuk menjadi imam dan shalatlah’. ‘Aisyah berkata: ‘Abu Bakar itu orang yang terlalu lembut, kalau ia mengimami shalat, ia mudah menangis. Jika ia menggantikan posisimu, ia akan mudah menangis sehingga sulit menyelesaikan bacaan Qur’an. Nabi tetap berkata: ‘Perintahkan Abu Bakar untuk menjadi imam dan shalatlah’. ‘Aisyah lalu berkata hal yang sama, Rasulullah pun mengatakan hal yang sama lagi, sampai ketiga atau keempat kalinya Rasulullah berkata: ‘Sesungguhnya kalian itu (wanita) seperti para wanita pada kisah Yusuf, perintahkan Abu Bakar untuk menjadi imam dan shalatlah’”(HR Bukhari Muslim)

Ketika Nabi sakit, manusia tidak memulai sholat sampai akhirnya Rasul mememerintahkan Abu Bakar untuk menggantikan beliau SAW. Beliaulah Imam Rawatib yang tanpa kehadiran Beliau SAW sholat jamaah tidak dilaksanakan. Inilah pentunjuk dan Rasul SAW dalam pengelolaan sebuah masjid. Masjid memerlukan kehadiran Imam tetap untuk memimpin sholat berjamaah.



2.      Menghapuskan praktek yang menyelisihi sunnah/tuntunan Nabi SAW



Kekosongan imam rawatib dalam sebuah masjid membuka peluang terjadinya perbuatan-perbuatan yang menyelisihi petunjuk/sunnah Nabi SAW. Diantaranya:

Saling mempersilahkan menjadi imam yang terkadang mengabaikan kriteria seorang Imam. Padahal Rasulullah SAW bersabda : “Orang yang akan mengimami suatu kaum adalah orang yang paling ahli membaca Kitab Allah, maka bila mereka dalam bacaannya itu sama, maka yang lebih tahu (‘alim) tentang sunnah Rasul; apabila mereka tentang sunnah adalah sama, maka hendaklah diangkat jadi imam orang yang lebih dulu pergi hijrah ( yang paling dahulu taatnya kepada agama).; jika mereka hijrahnya sama; maka yang paling dahulu masuk Islam [yang lebih tua umurnya]. Dan janganlah seseorang mengimami orang lain di wilayah kekuasaan orang itu dan janganlah ia duduk di tempat duduk orang lain (kecuali dengan izinnya) (HR. Muslim). 



Seringkali pemilihan Imam pada situasi tertntu  tidak merujuk pada petunjuk Nabi SAW. Misalkan :

  • dengan melihat usianya, atau mempertimbangkan pakaian yang dikenakannya padahal yang bersangkutan tidak layak menjadi Imam.
  • Seseorang menjadi Imam di wilayah kekuasaan orang lain (tamu). Padahal orang yang menjadi makmum sebenarnya tidak rela dengan keimamannya.  Rasulullah SAW melarang perbuatan ini. Solusi permasalahan ini adalah ketersediaan Imam Rawatib dalam sebuah masjid.
  •  Ketidakjelasan Imam saat Iqomah dikumandangkan,  Ketidak adaan Imam Rawatib menyebabkan ketidakjelasan Imam bahkan sampai Iqomah dikumandangkan.  hal ini terjadi di masa Rasululah SAW.



3.      Menghidupkan sholat Jamaah di masjid



Terdapat banyak hadist dari Nabi SAW yang memerintahkan kita, kaum laki-laki untuk sholat berjamaah di Masjid bukan di rumah. Diantara hadist-hadist tersebut adalah :

“Dari Abu Hurairah radhiallaahu anhu , ia berkata, telahdatang kepada Nabi shallallaahu alaihi wasallam seorang lelaki buta, kemudian ia berkata, “Wahai Rasulullah, aku tidak punya orang yang bisa lalu dia mohon kepada Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam agar diberi keringanan dan cukup shalat di rumahnya.’ Maka Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam memberikan keringanan kepadanya. Ketika dia berpaling untuk pulang, beliau memanggilnya, seraya berkata, ‘Apakah engkau mendengar suara adzan (panggilan) shalat?’, ia menjawab, ‘Ya.’ Beliau bersabda, ‘Maka hendaklah kau penuhi (panggilah itu)’.” (HR. Muslim).


Hadits di atas menunjukkan betapa Rasullulah SAW sangat menekankan sholat berjamaah di Masjid sampai-sampai tidak ada keringanan bagi orang buta sekalipun untuk tidak hadir sholat berjamaah di masjid. Bagaimanakah dengan kita, yang telah diberi Allah kesehatan jasmani dan kekayaaan, alasan apakah yang akan kita kemukakan di hadapan Rasulullah SAW seandainya beliau SAW masih hidup. Atau alasan apakah yang akan kita sampaikan kehadirat Allah ‘Ajja wa Jalla di akherat kelak. 


Hadist nabi yang lain tentang sholat berjamaah di Masjid:

“Dari Ibnu Abbas , bahwasanya Nabi shallallaahu alaihi wasallam bersabda, ‘Barangsiapa mendengar panggilan adzan namun tidak mendatanginya, maka tidak ada shalat baginya, ter-kecuali karena udzur (yangdibenarkan dalam agama)’.” (HR. Abu Daud, Ibnu Majah dan lainnya, hadits shahih).


Hadist-hadist diatas memerintahkan kita, kaum pria untuk melakukan sholat jamaah di Masjid. Sholat jamaah tidak akan dapat terlaksana kecuali dengan adanya Imam sholat yang memimpin sholat sholat lima waktu.Kehadiran Imam rawatib menjamin keberlangsungan pelaksaan shalat berjamaah di masjid. Olehkarena itu adanya Imam Rawatib menjadi sangat penting dan bahkan menjadi sebuah keharusan dalam upaya menghidupkan dan memakmurkan masjid.




Syarat Menjadi Imam Rawatib


1.  Sanggup menunaikan sholat, jika seorang imam tiba tiba tidak sanggup melaksanakan tugasnya sebagai imam, misalnya, karena sakit atau batal wudu, maka hendaknya ia meninggalkan tempat imam, sedangkan makmum yang dibelakang tampil ke depan untuk menggantikannya

2.  Mengetahui hukum-hukum shalat (fiqih shalat), yaitu mengetahui syarat sah shalat, rukun-rukun shalat, dan sunah-sunah shalat.

3.    Mempunyai ingatan yang kuat, misalnya tidak pelupa

4.   Dapat membaca atau melafalkan bacaan shalat dengan benar, terkait tajwid dan makhrojul huruf Al Quran


Untuk kesempurnaan seorang iman , perhatikan pula kutipan hadis berikut . Rasullulah saw bersabda: " Jadikanlah olehmu untuk imam imam itu, orang orang yang terpilih di antara kamu, karena mereka merupakan perantara antara kamu dengan tuhan." (H.R Ad Daruquthny dari Ibnu Umar.)


Jika salah seorang di antara para ma'mum lebih pandai membaca Al-Qur'an dan lebih pandai dalam fiqih, maka dia didahulukan dari pada lainnya. 


Jika salah seorang di antara para ma'mum pandai dalam bidang fiqih, sedang yang lain lebih pandai membaca Al-Qur'an, maka yang lebih pandai fiqih adalah lebih utama. Karena barangkali dalam shalat tersebut terjadi sesuatu kejadian yang memerlukan kepada ijtihad. 


Jika ada dua orang yang sama pandainya dalam bidang fiqih dan bacaan Al-Qur'an, dalam hal ini ada dua pendapat:

1.      Imam Asy-Syafi'i dalam qaul qodim berpendapat: "Yang didahulukan adalah orang yang lebih mulia kedudukannya dalam masyarakat, lalu orang yang lebih dahulu hijrahnya, kemudian orang yang lebih tua umurnya; dan inilah pendapat yang lebih kuat.

Orang yang lebih dahulu hijrahnya lebih didahulukan dari pada orang yang lebih tua umurnya adalah berdasarkan hadits dari Abu Mas'ud Al-Badri.

Tidak ada perbedaan pendapat mengenai orang yang mulia kedudukannya di masyarakat lebih didahulukan dari pada orang yang lebih dahulu hijrahnya.

Jika orang yang lebih dahulu hijrahnya lebih didaulukan dari pada orang yang lebih tua umurnya, maka mendahulukan orang yang lebih mulia keduduknya di masyarakat daripada orang yang lebih dahulu hijrahnya adalah lebih utama. 


2.      Dalam qaul jadid Imam Asy-Syafi'i berpendapat bahwa orang yang lebih tua umurnya harus didahulukan, kemudian orang yang lebih mulia kedudukannya di masyarakat, kemudian orang yang lebih dahulu hijrahnya. Hal ini berdasarkan riwayat Malik bin Huwairits bahwa Nabi Muhammad saw. telah bersabda:

Shalatlah kamu sekalian sebagaimana kamu sekalian melihat aku melakukan shalat. Hendaklah salah seorang dari kamu melakukan adzan untuk kamu sekalian, dan hendaklah orang yang paling tua di antara kamu mengimami kamu sekalian".

Mendahulukan orang yang umurnya lebih tua, adalah karena orang yang lebih tua itu lebih khusyu' dalam shalat, sehingga lebih utama.

Umur yang berhak untuk didahulukan menjadi imam adalah umur dalam masuk agama Islam. Adapun jika seseorang menjadi tua dalam kekafiran, kemudian masuk Islam, maka tidak didahulukan atas pemuda yang tumbuh dalam Islam. 

Orang mulia yang berhak untuk didahulukan adalah apabila orang tersebut dari golongan Quraisy.

Yang dimaksud dengan hijrah di sini adalah dari orang yang berhijrah dari Makkah kepada Rasulullah saw., atau dari anak cucu mereka. 


Apabila ada dua orang yang sama dalam ketentuan-ketentuan tersebut, maka sebagian dari para ulama' terdahulu berpendapat bahwa yang didahulukan adalah orang yang paling baik di antara mereka. Di antara para pendukung madzhab Syafi'i ada orang yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan orang yang paling baik tersebut adalah orang yang paling baik rupanya (tampan). 


Di antara mereka ada orang yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan orang yang paling di sini adalah orang yang paling baik sebutannya di masyarakat. 


Jika orang-orang yang berhak menjadi imam yang telah disebutkan di atas berkumpul dengan pemilik rumah, maka pemilik rumah adalah lebih utama menjadi imam daripada mereka. Hal ini sesuai dengan apa yang diriwayatkan dari Abu Mas'ud Al-Badri bahwa Nabi Besar Muhammad saw. bersabda:

"Janganlah sekali-kali seseorang laki-laki mengimami orang laki-laki lain pada keluarga laki-laki lain tersebut dan janganlah seseorang laki-laki duduk pada tempat duduk yang khusus bagi laki-laki lain, kecuali dengan izinnya". 


Jika datang pemilik rumah dan orang yang menyewa rumah tersebut, maka penyewa rumah lebih utama untuk menjadi imam. Karena penyewa rumah lebih berhak mempergunakan manfaat-manfaat dari rumah tersebut. 


Jika datang pemilik budak belian dan budak belian dalam sebuah rumah yang dibangunkan oleh majikan (pemilik budak) untuk tempat tinggal budak tersebut, maka sang majikan lebih utama untuk menjadi imam. Karena majikan tersebut adalah pemilik rumah tersebut pada hakikatnya, bukan si budak belian. 


Jika berkumpul selain majikan dan budak dalam rumah budak tersebut, maka si budak lebih utama menjadi imam. Karena budak tersebut lebih berhak dalam mengatur rumah tersebut. 


Jika orang-orang tersebut di atas berkumpul di masjid bersama imam masjid, maka imam masjid tersebut adalah lebih utama menjadi imam. Karena telah diriwayatkan bahwa Abdullah Umar mempunyai budak yang shalat dalam masjid, kemudian Ibnu Umar datang dan budaknya meminta beliau berdiri di depan sebagai imam. Ibnu Umar ra berkata: "Engkau lebih berhak menjadi imam di masjidmu!" 


Jika imam dari orang-orang muslim berkumpul dengan pemilik rumah atau dengan imam masjid, maka imam dari orang-orang muslim tersebut adalah lebih utama, karena kekuasaannya adalah bersifat umum dan karena dia adalah pemimpin sedang orang-orang tersebut adalah orang-orang yang dipimpin; sehingga mendahulukan pemimpin adalah lebih utama. 


Jika berkumpul orang musafir dan orang mukim, maka orang yang mukim adalah lebih utama. Karena sesungguhnya jiika orang mukim menjadi imam, maka seluruhnya menyempurnakan shalat sehingga mereka tidak berbeda. Dan jika orang musafir yang menjadi imam, maka mereka berbeda-beda dalam jumlah rakaat. 


Jika orang merdeka berkumpul dengan budak belian, maka orang merdeka lebih utama. Karena menjadi imam itu adalah tempat kesempurnaan, sedangkan orang merdeka itu adalah yang lebih sempurna. 


Jika orang yang adil dan orang yang fasik berkumpul, maka orang yang adil adalah lebih diutamakan, karena dia lebih utama. 


Jika anak zina berkumpul dengan lainnya, maka lainnya adalah lebih utama. Sayyidina Umar ra. dan Mujahid menganggap makruh anak zina menjadi imam, sehingga selain anak zina adalah lebih utama dari pada anak zina. 


Jika berkumpul orang yang dapat melihat dengan orang yang buta, maka menurut ketentuan nas dalam hal menjadi imam adalah bahwa kedua orang tesebut sama. Sebab orang yang buta itu mempunyai kelebihan karena dia tidak melihat hal-hal yang dapat melengahkannya. Sedang orang yang dapat melihat juga memiliki kelebihan, yaitu dapat menjauhkan diri dari najis. 


Abu Ishaq Al-Maruzi berpendapat bahwa orang yang buta lebih utama. Sedangkan menurut Abu Ishaq As-Syairozi orang yang dapat melihat adalah lebih utama. Karena dia dapat menjauhi barang najis yang dapat merusak shalat. Sedang orang yang buta dapat meninggalkan memandang kepada hal-hal yang dapat melengahkannya; dan hal tersebut tidak merusak shalat. 


Ringkasan :

Orang yang lebih berhak menjadi imam adalah:

a.       Yang lebih baik bacaannya.

b.      Yang lebih memahami ajaran Islam sesuai Alqur'an dan Sunnah.

c.       Yang lebih dahulu hijrahnya.

d.      Yang lebih dahulu masuk Islam.

e.       Yang lebih tua usianya.

f.       Yang lebih bersih pakaiannya.

g.      Yang lebih bagus suaranya.

h.      Yang lebih bagus rupanya.




Orang yang tidak boleh menjadi Imam Sholat


Termasuk dalam kategori orang  ummi  yang  tidak boleh dijadikan imam , adalah: 


1 . Fasid(فاسد); yaitu orang yang bacaan al-Fatihahnya tidak benar, baik keseluruhan maupun sebagian, ataupun hanya 1  (satu) huruf saja. (Hasyiyah 'Ianatuth Thalibiin -Ad-Dimyati: 43) 


2. Arott(أرتّ); yaitu orang yang bacaannya bisa menyebabkan pergantian suatu huruf. Misalnya, ia meng-idghamkan huruf yang tidak semestinya sehingga mengganti atau merubah redaksi kata, seperti kata (المُسْتَقِيْمِ) menjadi (المُتَّـقِيْمِ) dengan mengganti sin dengan ta' karena idgham. Lain halnya dengan orang yang hanya meng-idgham- kan saja tanpa mengganti huruf, seperti mentasydid huruf lam atau kaf pada kata (مَالِكِ), maka ia bukan termasuk Arott. 


3 . Altsagh(ألثغ) -Altsagh lebih umum daripada Arott- yaitu orang yang mengganti suatu huruf dengan huruf lain (الإِبْدَال), baik pergantian huruf itu disertai idgham ataupun tidak. ((Hasyiyah 'Ianatuth Thalibiin -Ad-Dimyati: 44 ) Misalnya, bacaan kata (المُسْتَـقِيْمِ) menjadi (المُثْـتَـقِيْم) dengan mengganti huruf sin menjadi tsa', atau kata (الَّدِيْنَ) menjadi (اَّلذِيْنَ) yaitu dengan mengganti huruf dal menjadi dzal atau terbaca "dhin". (Nihayah az-Zain -Imam Nawawi Al- Bantani, 1995 :116). 


4 . Rokhwah(رخوة); yaitu orang yang lisannya tidak dapat mengucapkan tasydiid. Ia tidak boleh menjadi imam. (Kifayatul Akhyaar -Al-Husaini, 1994 :110) 


Adapun seseorang bermakmum kepada orang yang ta'-ta' (gagap, bacaannya selalu mengulang- ulang ta') atau orang fa'-fa' (bacaannya selalu mengulang fa') maka hukumnya adalah makruh.[Ibnu Hajar al-Haitami asy-Syafi'i, Tuhfah al-Muhtaj]

Kecuali, jika bacaan si makmum dan Imamnya sama-sama lakhn , maka shalatnya tetap sah dan kasus ini termasuk dharurat. 


Jika makmum meragukan atau tidak mengetahui kemampuan imamnya, maka ia boleh tetap bermakmum kepada imam tersebut hanya pada shalat sirriyah (dhuhur dan ashar) saja. Jika makmum tetap mengikuti imam yang ia ketahui bacaannya lakhn (salah) pada shalat jahriyah (subuh, maghrib dan isyak), maka si makmum harus mengulang shalatnya. (Nihayah az-Zain Imam Nawawi Al-Bantani, 1995 :116). 


Sabda Rasulullah SAW dari Ubadah bin Shamit:

عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا صَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ

Tidak sah shalat seseorang yang tidak membaca surat Al-Fatihah. (HR. Al-Bukhari) 


Begitu juga menurut Imam Taqiyyuddin dalam Kitab beliau Kifayatul Akhyar - Bab Rukun shalat.

WALLAHU A'LAM



Sumber :




·