IMAM RAWATIB
Secara etimologis (لغة) kata rawatib (رواتب) berasal dari bahasa Arab yang merupakan bentuk jamak dari kata ratibah (راتبة) yang bermakna tetap atau abadi.
Imam Rawatib adalah imam tetap
yang memimpin shalat berjamaah di suatu masjid. Seberapa pentingkah kehadiran
imam rawatib dalam suatu masjid? Uraian berikut ini akan berusaha menjawab
pertanyaan tersebut. Ada banyak alasan yang bisa dikemukakan untuk menjelaskan
pentingnya Imam rawatib. Pada kesempatan kali ini, kami membatasinya pada
beberapa hal yang dirasa paling utama. Diantaranya:
1. Mengkuti tuntunan/petunjuk
dan sunnah Rasulullah SAW.
Rasullulah adalah Imam
Rawatib Masjid Nabi. Beliau selalu memimpin sholat lima waktu kecuali ketika
beliau sakit sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari/Muslim,
“Ketika Nabi
Shallallahu’alaihi Wasallam sakit menjelang wafat, Bilal datang meminta idzin
untuk memulai shalat. Rasulullah bersabda: ‘Perintahkan Abu Bakar untuk menjadi
imam dan shalatlah’. ‘Aisyah berkata: ‘Abu Bakar itu orang yang terlalu lembut,
kalau ia mengimami shalat, ia mudah menangis. Jika ia menggantikan posisimu, ia
akan mudah menangis sehingga sulit menyelesaikan bacaan Qur’an. Nabi tetap
berkata: ‘Perintahkan Abu Bakar untuk menjadi imam dan shalatlah’. ‘Aisyah lalu
berkata hal yang sama, Rasulullah pun mengatakan hal yang sama lagi, sampai
ketiga atau keempat kalinya Rasulullah berkata: ‘Sesungguhnya kalian itu
(wanita) seperti para wanita pada kisah Yusuf, perintahkan Abu Bakar untuk
menjadi imam dan shalatlah’”(HR Bukhari Muslim)
Ketika Nabi sakit, manusia
tidak memulai sholat sampai akhirnya Rasul mememerintahkan Abu Bakar untuk
menggantikan beliau SAW. Beliaulah Imam Rawatib yang tanpa kehadiran Beliau SAW
sholat jamaah tidak dilaksanakan. Inilah pentunjuk dan Rasul SAW dalam
pengelolaan sebuah masjid. Masjid memerlukan kehadiran Imam tetap untuk
memimpin sholat berjamaah.
2. Menghapuskan praktek yang
menyelisihi sunnah/tuntunan Nabi SAW
Kekosongan imam rawatib dalam
sebuah masjid membuka peluang terjadinya perbuatan-perbuatan yang menyelisihi
petunjuk/sunnah Nabi SAW. Diantaranya:
Saling mempersilahkan menjadi
imam yang terkadang mengabaikan kriteria seorang Imam. Padahal Rasulullah SAW bersabda
: “Orang yang akan mengimami suatu kaum adalah orang yang paling ahli
membaca Kitab Allah, maka bila mereka dalam bacaannya itu sama, maka yang lebih
tahu (‘alim) tentang sunnah Rasul; apabila mereka tentang sunnah adalah sama,
maka hendaklah diangkat jadi imam orang yang lebih dulu pergi hijrah ( yang
paling dahulu taatnya kepada agama).; jika mereka hijrahnya sama; maka yang
paling dahulu masuk Islam [yang lebih tua umurnya]. Dan janganlah seseorang
mengimami orang lain di wilayah kekuasaan orang itu dan janganlah ia duduk di
tempat duduk orang lain (kecuali dengan izinnya) (HR. Muslim).
Seringkali pemilihan Imam
pada situasi tertntu tidak merujuk pada
petunjuk Nabi SAW. Misalkan :
- dengan melihat usianya, atau mempertimbangkan pakaian yang dikenakannya padahal yang bersangkutan tidak layak menjadi Imam.
- Seseorang menjadi Imam di wilayah kekuasaan orang lain (tamu). Padahal orang yang menjadi makmum sebenarnya tidak rela dengan keimamannya. Rasulullah SAW melarang perbuatan ini. Solusi permasalahan ini adalah ketersediaan Imam Rawatib dalam sebuah masjid.
- Ketidakjelasan Imam saat Iqomah dikumandangkan, Ketidak adaan Imam Rawatib menyebabkan ketidakjelasan Imam bahkan sampai Iqomah dikumandangkan. hal ini terjadi di masa Rasululah SAW.
3. Menghidupkan sholat Jamaah di
masjid
Terdapat banyak hadist
dari Nabi SAW yang memerintahkan kita,
kaum laki-laki untuk sholat berjamaah
di Masjid bukan di rumah. Diantara hadist-hadist tersebut adalah :
“Dari Abu Hurairah
radhiallaahu anhu , ia berkata, telahdatang kepada Nabi
shallallaahu alaihi wasallam seorang lelaki buta, kemudian ia berkata, “Wahai
Rasulullah, aku tidak punya orang yang bisa lalu dia mohon kepada Rasulullah shallallaahu alaihi
wasallam agar diberi keringanan dan cukup shalat di rumahnya.’ Maka Rasulullah
shallallaahu alaihi wasallam memberikan keringanan kepadanya. Ketika dia
berpaling untuk pulang, beliau memanggilnya, seraya berkata, ‘Apakah engkau
mendengar suara adzan (panggilan) shalat?’, ia menjawab, ‘Ya.’ Beliau bersabda,
‘Maka hendaklah kau penuhi (panggilah itu)’.” (HR. Muslim).
Hadits di atas
menunjukkan betapa Rasullulah SAW sangat menekankan sholat berjamaah di Masjid
sampai-sampai tidak ada keringanan bagi orang buta sekalipun untuk tidak hadir
sholat berjamaah di masjid. Bagaimanakah dengan kita, yang telah diberi Allah
kesehatan jasmani dan kekayaaan, alasan apakah yang akan kita kemukakan di
hadapan Rasulullah SAW seandainya beliau SAW masih hidup. Atau alasan apakah
yang akan kita sampaikan kehadirat Allah ‘Ajja wa Jalla di akherat kelak.
Hadist nabi yang lain
tentang sholat berjamaah di Masjid:
“Dari Ibnu Abbas ,
bahwasanya Nabi shallallaahu alaihi wasallam bersabda, ‘Barangsiapa mendengar
panggilan adzan namun tidak mendatanginya, maka tidak ada shalat baginya,
ter-kecuali karena udzur (yangdibenarkan dalam agama)’.” (HR. Abu Daud, Ibnu
Majah dan lainnya, hadits shahih).
Hadist-hadist diatas
memerintahkan kita, kaum pria untuk melakukan sholat jamaah di Masjid. Sholat jamaah
tidak akan dapat terlaksana kecuali dengan adanya Imam sholat yang memimpin
sholat sholat lima waktu.Kehadiran Imam rawatib menjamin
keberlangsungan pelaksaan shalat berjamaah di masjid. Olehkarena itu adanya Imam Rawatib menjadi sangat penting
dan bahkan menjadi sebuah keharusan dalam
upaya menghidupkan dan
memakmurkan masjid.
Syarat Menjadi Imam Rawatib
1. Sanggup menunaikan sholat, jika
seorang imam tiba tiba tidak sanggup melaksanakan tugasnya sebagai imam,
misalnya, karena sakit atau batal wudu, maka hendaknya ia meninggalkan tempat
imam, sedangkan makmum yang dibelakang tampil ke depan untuk menggantikannya
2. Mengetahui hukum-hukum shalat (fiqih shalat), yaitu
mengetahui syarat sah shalat, rukun-rukun shalat, dan sunah-sunah shalat.
3. Mempunyai ingatan yang kuat,
misalnya tidak pelupa
4. Dapat membaca atau melafalkan bacaan shalat
dengan benar, terkait tajwid dan makhrojul huruf Al Quran
Untuk kesempurnaan seorang iman , perhatikan pula kutipan hadis berikut . Rasullulah saw bersabda: " Jadikanlah olehmu untuk imam imam itu, orang orang yang terpilih di antara kamu, karena mereka merupakan perantara antara kamu dengan tuhan." (H.R Ad Daruquthny dari Ibnu Umar.)
Jika
salah seorang di antara para ma'mum lebih pandai membaca Al-Qur'an dan lebih
pandai dalam fiqih, maka dia didahulukan dari pada lainnya.
Jika
salah seorang di antara para ma'mum pandai dalam bidang fiqih, sedang yang lain
lebih pandai membaca Al-Qur'an, maka yang lebih pandai fiqih adalah lebih
utama. Karena barangkali dalam shalat tersebut terjadi sesuatu kejadian yang
memerlukan kepada ijtihad.
Jika ada
dua orang yang sama pandainya dalam bidang fiqih dan bacaan Al-Qur'an, dalam
hal ini ada dua pendapat:
1. Imam Asy-Syafi'i dalam qaul qodim berpendapat:
"Yang didahulukan adalah orang yang lebih mulia kedudukannya dalam
masyarakat, lalu orang yang lebih dahulu hijrahnya, kemudian orang yang lebih
tua umurnya; dan inilah pendapat yang lebih kuat.
Orang
yang lebih dahulu hijrahnya lebih didahulukan dari pada orang yang lebih tua
umurnya adalah berdasarkan hadits dari Abu Mas'ud Al-Badri.
Tidak
ada perbedaan pendapat mengenai orang yang mulia kedudukannya di masyarakat
lebih didahulukan dari pada orang yang lebih dahulu hijrahnya.
Jika
orang yang lebih dahulu hijrahnya lebih didaulukan dari pada orang yang lebih
tua umurnya, maka mendahulukan orang yang lebih mulia keduduknya di masyarakat
daripada orang yang lebih dahulu hijrahnya adalah lebih utama.
2. Dalam qaul jadid Imam
Asy-Syafi'i berpendapat bahwa orang yang lebih tua umurnya harus didahulukan,
kemudian orang yang lebih mulia kedudukannya di masyarakat, kemudian orang yang
lebih dahulu hijrahnya. Hal ini berdasarkan riwayat Malik bin Huwairits bahwa
Nabi Muhammad saw. telah bersabda:
Shalatlah kamu sekalian sebagaimana kamu
sekalian melihat aku melakukan shalat. Hendaklah salah seorang dari kamu
melakukan adzan untuk kamu sekalian, dan hendaklah orang yang paling tua di
antara kamu mengimami kamu sekalian".
Mendahulukan orang yang umurnya lebih tua,
adalah karena orang yang lebih tua itu lebih khusyu' dalam shalat, sehingga
lebih utama.
Umur yang berhak untuk didahulukan menjadi imam
adalah umur dalam masuk agama Islam. Adapun jika seseorang menjadi tua dalam
kekafiran, kemudian masuk Islam, maka tidak didahulukan atas pemuda yang tumbuh
dalam Islam.
Orang mulia yang berhak untuk didahulukan
adalah apabila orang tersebut dari golongan Quraisy.
Yang dimaksud dengan hijrah di sini adalah dari
orang yang berhijrah dari Makkah kepada Rasulullah saw., atau dari anak cucu
mereka.
Apabila ada dua orang yang sama dalam
ketentuan-ketentuan tersebut, maka sebagian dari para ulama' terdahulu
berpendapat bahwa yang didahulukan adalah orang yang paling baik di antara mereka.
Di antara para pendukung madzhab Syafi'i ada orang yang berpendapat bahwa yang
dimaksud dengan orang yang paling baik tersebut adalah orang yang paling baik
rupanya (tampan).
Di antara mereka ada orang yang berpendapat
bahwa yang dimaksud dengan orang yang paling di sini adalah orang yang paling
baik sebutannya di masyarakat.
Jika orang-orang yang berhak menjadi imam yang
telah disebutkan di atas berkumpul dengan pemilik rumah, maka pemilik rumah
adalah lebih utama menjadi imam daripada mereka. Hal ini sesuai dengan apa yang
diriwayatkan dari Abu Mas'ud Al-Badri bahwa Nabi Besar Muhammad saw. bersabda:
"Janganlah
sekali-kali seseorang laki-laki mengimami orang laki-laki lain pada keluarga
laki-laki lain tersebut dan janganlah seseorang laki-laki duduk pada tempat
duduk yang khusus bagi laki-laki lain, kecuali dengan izinnya".
Jika
datang pemilik rumah dan orang yang menyewa rumah tersebut, maka penyewa rumah
lebih utama untuk menjadi imam. Karena penyewa rumah lebih berhak mempergunakan
manfaat-manfaat dari rumah tersebut.
Jika
datang pemilik budak belian dan budak belian dalam sebuah rumah yang
dibangunkan oleh majikan (pemilik budak) untuk tempat tinggal budak tersebut,
maka sang majikan lebih utama untuk menjadi imam. Karena majikan tersebut
adalah pemilik rumah tersebut pada hakikatnya, bukan si budak belian.
Jika
berkumpul selain majikan dan budak dalam rumah budak tersebut, maka si budak
lebih utama menjadi imam. Karena budak tersebut lebih berhak dalam mengatur
rumah tersebut.
Jika
orang-orang tersebut di atas berkumpul di masjid bersama imam masjid, maka imam
masjid tersebut adalah lebih utama menjadi imam. Karena telah diriwayatkan
bahwa Abdullah Umar mempunyai budak yang shalat dalam masjid, kemudian Ibnu
Umar datang dan budaknya meminta beliau berdiri di depan sebagai imam. Ibnu
Umar ra berkata: "Engkau lebih berhak menjadi imam di masjidmu!"
Jika
imam dari orang-orang muslim berkumpul dengan pemilik rumah atau dengan imam
masjid, maka imam dari orang-orang muslim tersebut adalah lebih utama, karena
kekuasaannya adalah bersifat umum dan karena dia adalah pemimpin sedang
orang-orang tersebut adalah orang-orang yang dipimpin; sehingga mendahulukan
pemimpin adalah lebih utama.
Jika
berkumpul orang musafir dan orang mukim, maka orang yang mukim adalah lebih
utama. Karena sesungguhnya jiika orang mukim menjadi imam, maka seluruhnya
menyempurnakan shalat sehingga mereka tidak berbeda. Dan jika orang musafir
yang menjadi imam, maka mereka berbeda-beda dalam jumlah rakaat.
Jika
orang merdeka berkumpul dengan budak belian, maka orang merdeka lebih utama.
Karena menjadi imam itu adalah tempat kesempurnaan, sedangkan orang merdeka itu
adalah yang lebih sempurna.
Jika
orang yang adil dan orang yang fasik berkumpul, maka orang yang adil adalah
lebih diutamakan, karena dia lebih utama.
Jika
anak zina berkumpul dengan lainnya, maka lainnya adalah lebih utama. Sayyidina
Umar ra. dan Mujahid menganggap makruh anak zina menjadi imam, sehingga selain
anak zina adalah lebih utama dari pada anak zina.
Jika
berkumpul orang yang dapat melihat dengan orang yang buta, maka menurut
ketentuan nas dalam hal menjadi imam adalah bahwa kedua orang tesebut sama.
Sebab orang yang buta itu mempunyai kelebihan karena dia tidak melihat hal-hal
yang dapat melengahkannya. Sedang orang yang dapat melihat juga memiliki
kelebihan, yaitu dapat menjauhkan diri dari najis.
Abu
Ishaq Al-Maruzi berpendapat bahwa orang yang buta lebih utama. Sedangkan
menurut Abu Ishaq As-Syairozi orang yang dapat melihat adalah lebih utama.
Karena dia dapat menjauhi barang najis yang dapat merusak shalat. Sedang orang
yang buta dapat meninggalkan memandang kepada hal-hal yang dapat
melengahkannya; dan hal tersebut tidak merusak shalat.
Ringkasan :
Orang yang lebih berhak menjadi imam adalah:
a.
Yang lebih baik bacaannya.
b.
Yang lebih memahami ajaran Islam sesuai
Alqur'an dan Sunnah.
c.
Yang lebih dahulu hijrahnya.
d.
Yang lebih dahulu masuk Islam.
e.
Yang lebih tua usianya.
f.
Yang lebih bersih pakaiannya.
g.
Yang lebih bagus suaranya.
h.
Yang lebih bagus rupanya.
Orang yang tidak boleh menjadi Imam Sholat
Termasuk
dalam kategori orang ummi yang tidak boleh dijadikan imam ,
adalah:
1 .
Fasid(فاسد); yaitu orang yang
bacaan al-Fatihahnya tidak benar, baik keseluruhan maupun sebagian, ataupun
hanya 1 (satu) huruf saja. (Hasyiyah 'Ianatuth Thalibiin -Ad-Dimyati: 43)
2.
Arott(أرتّ); yaitu orang yang
bacaannya bisa menyebabkan pergantian suatu huruf. Misalnya, ia meng-idghamkan
huruf yang tidak semestinya sehingga mengganti atau merubah redaksi kata,
seperti kata (المُسْتَقِيْمِ) menjadi (المُتَّـقِيْمِ) dengan mengganti sin dengan ta' karena
idgham. Lain halnya dengan orang yang hanya meng-idgham- kan saja tanpa
mengganti huruf, seperti mentasydid huruf lam atau kaf pada kata (مَالِكِ), maka ia bukan termasuk Arott.
3 .
Altsagh(ألثغ) -Altsagh lebih umum
daripada Arott- yaitu orang yang mengganti suatu huruf dengan huruf lain (الإِبْدَال), baik pergantian huruf itu disertai
idgham ataupun tidak. ((Hasyiyah 'Ianatuth Thalibiin -Ad-Dimyati: 44 )
Misalnya, bacaan kata (المُسْتَـقِيْمِ)
menjadi (المُثْـتَـقِيْم) dengan mengganti
huruf sin menjadi tsa', atau kata (الَّدِيْنَ)
menjadi (اَّلذِيْنَ) yaitu dengan
mengganti huruf dal menjadi dzal atau terbaca "dhin". (Nihayah
az-Zain -Imam Nawawi Al- Bantani, 1995 :116).
4 .
Rokhwah(رخوة); yaitu orang yang
lisannya tidak dapat mengucapkan tasydiid. Ia tidak boleh menjadi imam.
(Kifayatul Akhyaar -Al-Husaini, 1994 :110)
Adapun
seseorang bermakmum kepada orang yang ta'-ta' (gagap, bacaannya selalu
mengulang- ulang ta') atau orang fa'-fa' (bacaannya selalu mengulang fa') maka
hukumnya adalah makruh.[Ibnu Hajar al-Haitami asy-Syafi'i, Tuhfah al-Muhtaj]
Kecuali,
jika bacaan si makmum dan Imamnya sama-sama lakhn , maka shalatnya tetap sah
dan kasus ini termasuk dharurat.
Jika
makmum meragukan atau tidak mengetahui kemampuan imamnya, maka ia boleh tetap
bermakmum kepada imam tersebut hanya pada shalat sirriyah (dhuhur dan ashar)
saja. Jika makmum tetap mengikuti imam yang ia ketahui bacaannya lakhn (salah)
pada shalat jahriyah (subuh, maghrib dan isyak), maka si makmum harus mengulang
shalatnya. (Nihayah az-Zain Imam Nawawi Al-Bantani, 1995 :116).
Sabda
Rasulullah SAW dari Ubadah bin Shamit:
عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ أَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا صَلَاةَ لِمَنْ لَمْ
يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ
Tidak
sah shalat seseorang yang tidak membaca surat Al-Fatihah. (HR. Al-Bukhari)
Begitu
juga menurut Imam Taqiyyuddin dalam Kitab beliau Kifayatul Akhyar - Bab Rukun
shalat.
WALLAHU
A'LAM
Sumber
:
·