Masih ada orang yang tidak bisa membedakan antara Ghibah (membicarakan aib seorang Muslim), dengan Syahadah (kesaksian), dan Iqomatul Hujjah (menegakkan hukum agama).
1. Jika Ada Penipu
Telah sekian banyak orang menjadi korbannya. Lalu, kita buat poster yang berisi identitas dan fotonya. Kemudian kita sebar.
Selanjutnya kita siarkan, agar masyarakat berhati-hati dan terlindungi dari kejahatan (penipuan) orang tersebut, maka itu ‘Kesaksian’, bukan ‘Ghibah’.
Itu bentuk Nahi Mungkar yang sangat tinggi nilainya.
2. Jika Ada Seorang Saksi Mata Bersuara Lantang di Pengadilan
Ia sampaikan apa saja yang ia lihat. Ia bongkar identitas semua pelaku kejahatan, maka itu bukan ‘Ghibah’, tapi ‘Syahadah’ alias ‘Kesaksian’.
Agar hukum ditegakkan atas para penjahat. Beresiko. Namun, ia harus lakukan.
Jika ia menolak bersaksi, ia berdosa, karena dianggap menutupi kejahatan.
Jika ia bicara tidak sesuai fakta, itu pun dosa, karena ia telah memberikan Kesaksian Palsu.
3. Ada Pejabat, Dipilih dengan Uang Rakyat
Biaya pemilihannya habis banyak. Setelah terpilih, makan-minum dan fasilitas hidupnya, semua ditanggung oleh rakyat, tapi kerjanya hanya menyusahkan rakyat.
Kritik dari rakyat itu bukan ‘Ghibah’, tapi ‘Kesaksian’.
Bahkan, kritik kepada pejabat yang lalim seperti ini, dalam pandangan agama adalah bagian dari pada Amar Makruf Nahi Mungkar.
4. Kisah
Suatu hari, Hindun datang kepada Rasulullah, untuk mengadukan Abu Sufyan, suaminya.
“Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan itu, suami yang pelit bin bakhil. Ia tidak memberikan nafkah kepadaku, bolehkah aku ‘mencuri’ uangnya untuk kebutuhanku dan anakku?”
Dalam kasus ini, Hindun membongkar aib suaminya di depan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, tidak menegurnya karena telah membicarakan aib suaminya.
Bahkan beliau, memperbolehkan Hindun, mengambil uang suaminya tanpa sepengetahuan sang suami, untuk keperluannya dan anak-anak.
Apa yang dilakukan Hindun ini, bukan ‘Ghibah’, tapi ‘Syahadah’ alias ‘Kesaksian’.
Ia harus membuka aib suaminya, agar ia mendapatkan keadilan.
5. Contoh
Ada seorang pemikir Liberal. Aktif menyebarluaskan pemikiran sesatnya di tengah masyarakat. Lewat ceramah-ceramah dan tulisan-tulisannya.
Hingga perlahan-lahan, bertambahlah pengikutnya, dan makin kuat posisinya. Mereka merasuk ke semua lini.
Lalu, kita bongkar identitasnya dan kita kritik pemikirannya.
Itu bukan ‘Ghibah’, tapi ‘Iqomatul Hujjah’ (menegakkan hukum agama).
6. Contoh II
Kalau kita belajar ilmu mushtolahul hadist, kita akan temui bab Al jarh wa at ta’dil.
Saking pentingnya, bab ini bahkan oleh sebagian ulama, ditulis dalam kitab tersendiri.
Apa isinya? Membicarakan aib orang; si Fulan ini tukang bohong. Si Fulan ini lemah ingatannya. Si Fulan ini tukang memalsukan hadist, dan seterusnya.
Tapi Imam Ahmad menyebut ‘Ghibah’ dalam konteks ini adalah bagian dari ibadah.
Sebab, agama menjadi terjaga. Warisan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, tetap dalam keasliannya.
Terbongkar juga upaya musuh-musuh agama, untuk merusak tatanan agama ini.
“Demikianlah kami jadikan kalian umat yang wasath, agar kalian menjadi saksi-saksi atas perbuatan manusia,” (QS. Al-Baqarah: 143).
“Kalian adalah umat terbaik yang dikeluarkan untuk manusia. Kalian aktif mengajak kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar serta kalian beriman kepada Allah,” (QS. Ali Imran: 110).
“Kalian adalah saksi-saksi Allah di atas muka bumi ini,” kata Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dalam sebuah hadits shahih.
7. Bijak yang Salah
Maka jangan bersikap sok bijak, dengan berkata: “Afwan ukthi, jangan ‘Ghibahi’ si Fulan, karena bla… bla… dan bla….”
Terhadap Muslim yang shalih dan baik, pasti kita bersikap lemah lembut dan bijak.
Tidak mungkin Kita bongkar aib pribadinya. Tidak boleh Kita umbar kekurangannya.
Tapi kepada kaum sekuler, kapitalis, liberal, yang radikal, tidak perlu lagi bersikap lemah lembut.
Kita harus lawan pemikirannya, sekeras-kerasnya.
Itulah perjuangan, karena kebenaran (bela Allah, bela Rasulullah, bela Agama dan tegakkan keadilan) memang harus diperjuangkan, tanpa mengenal waktu dan tempat.
Di manapun kita berada, kita harus aktif mengajak kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, serta kita beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Surat At-Tahrim Ayat 9:
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ جَاهِدِ الْكُفَّارَ وَالْمُنَافِقِينَ وَاغْلُظْ عَلَيْهِمْ ۚ وَمَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ ۖ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ
Yā ayyuhan-nabiyyu jāhidil-kuffāra wal-munāfiqīna wagluẓ ‘alaihim, wa ma`wāhum jahannam, wa bi`sal-maṣīr
Artinya: “Hai Nabi, perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka adalah jahannam dan itu adalah seburuk-buruknya tempat kembali.”
Wallahu a’lam.